Rabu, 17 Februari 2010

D. Sistem Kepemimpinan Tradisional
Demikian pula dalam konteks kepemimpinan di pulau Papua, terdapat karakteristik dari sistem kepemimpinan tradisional. Mansoben membagi ke dalam 4 (empat) tipologi. Pertama, sistem kepemimpinan pria berwibawa Tipologi ini terdapat di orang Muyu, orang Ngalum, orang Dani, orang Asmat, orang Mek, dan orang Meibrat. Kedua, sistem kepemimpin raja Masyarakat tipe ini terdapat di Kepulauan Raja Ampat, daerah semenanjung Onin (Fakfak) dan di daerah Kaimana. Ketiga, sistem kepemimpinan yang menganut sistem kepemimpinan kepala klen. Tipologi ini terdapat di Teluk Jayapura, dimana ditempati oleh orang-orang Tobati, Enggros, Kayubatu, Nafri, Sentani, dan Genyem. Keempat, sistem kepemimpinan yang bersifat campuran antara tipe kepemimpinan pria berwibawa, tipe raja, dan tipe kepala klen. Tipologi seperti ini terdapat di masyarakat yang mendiami pantai Teluk Cendrawasih seperti di Biak dan Serui maupun di pantai utara Kepala Burung.

E. Pluralitas Budaya
Menurut mapping yang dilakukan Bappenas tahun 2005, penduduk asli Papua terdiri dari beragam etnis yang sudah teridentifikasi sebanyak 57 kelompok etnik serta hidup secara berkelompok dalam unit-unit kecil yang memiliki 252 adat, budaya dan bahasa tersendiri yang sangat dihormati oleh masyarakat. Bila kita perhatikan ikhtisar di atas dan bahan-bahan visual yang ada pada kita, maka tampaklah bahwa ciri-ciri ras yang ada pada penduduk Irian Barat ialah ciri-ciri ras Australoid, Weddoid, Negroid/Negritoid, Melanesoid dan sejumlah kecil ras Mongolid.
F. Kepercayaan
Pola kepercayaan agama tradisional masyarakat Papua menyatu dan menyerap segala aspek kehidupan. Pandangan dunia bagi masyarakat tradisionil Papua sebelum tersentuh agama samawi, terbagi dalam dua bagian, yakni :
1. Bagian-bagian empiris, yang menyangkut lingkungan alam, sumber-sumber ekonomi, dunia binatang dan dunia manusia. Singkatnya segala sesuatu yang dapat disentuh dan dapat dilihat.
2. Bagian-bagian non empiris, yang mencakup adanya roh-roh, kekuatan ilmu-ilmu gaib tak berkepribadian, dan kadang-kadang totem-totem.
G. Hubungan Masyarakat Papua dengan Bangsa-Bangsa Lain
Kontak awal masyarakat Papua dengan pihak luar atau bangsa-bangsa asing, baik di Nusantara maupun bangsa-bangsa asing lainnya. Interaksi-interaksi memiliki berbagai macam motif, baik ekonomi perdagangan, kekuasaan wilayah, penyebaran agama, maupun hubungan budaya secara tradisional. Kontak awal dengan bangsa India pada abad VII, hubungan dengan bangsa Cina dengan perantaraan Kerajaan Sriwijaya pada abad VII, hubungan dengan Kerajaan Majapahitpada abad XIV, hubungan dengan Kerajaan Bacan, Ternate dan Tidore pada abad XV-XIX, hubungan dengan Spanyol dan Portugis pada abad XVI, hubungan dengan Belanda pada abad XVII-XX, dan hubungan dengan Jepang (1938-1944).





BAB III
ISLAMISASI AWAL DI TANAH PAPUA

Sejarah masuknya agama Islam di pulau Papua dan proses penyebaran awal di tengah-tengah masyarakat Papua memiliki penafsiran yang berbeda-beda. Artinya, hingga saat ini belum terdapat kesepakatan di kalangan umat Islam di pulau Papua menyangkut kapan waktu pertama kali Islam hadir di pulau Papua, darimana Islam datang, maupun bagaimana proses penyebarannya. Buku “Sejarah Umat Islam Indonesia” yang disusun oleh tim ahli yang diketuai oleh Taufik Abdullah, ternyata sama sekali tidak menyebutkan nama daerah Irian Jaya (Papua). Hal ini menandakan bahwa kajian sejarah Islam di Papua masih diluar jangkauan penulisan dan penelitian para ahli sejarah. Untuk itu, Bab III dari disertasi ini akan membahas kedatangan Islam, pola penyebaran, bukti-bukti peninggalan, kerajaan-kerajaan Islam di pulau Papua, praktek keagamaan dan kehidupan sosial yang berkembang di kalangan penduduk asli Papua yang beragama Islam.

A. Kedatangan dan Penerimaan Islam
Penelusuran sejarah awal Islamisasi di Tanah Papua, setidaknya dapat digali dengan melihat beberapa versi mengenai kedatangan Islam di beberapa tempat di Tanah Papua. Versi-versi mengenai Islamisasi di Tanah Papua, setidaknya terdapat pandangan 7 (tujuh) versi, sebagaimana penulis mengklasifikasikannya sebagai berikut: 1. Versi Papua, versi ini merupakan pandangan adat dan legenda yang melekat di sebagian rakyat asli Papua, mereka berpandangan bahwa Islam telah ada sejak terciptanya pulau Papua. 2. Versi Aceh, Islam datang dari Aceh dibawa oleh Tuan Syekh Iskandar Syah dari kerajaan Samudera Pasai sekitar abad XIII daerah Mes distrik Kokas kabupaten Fakfak. 3. Versi Arab, pada tahun 1230 M. Syekh Abdul Rahman Assegaf Maulana Saniki Yarimullah dengan Istrinya Nyai Mara Utah telah memasuki Jazirah Onin, Rumbati-Fakfak. Dan mendirikan kerajaan Islam yang bernama Woni Epapua. 4.Versi Jawa, pada tahun 1518 M, Sultan Adipati Muhammad Yunus dengan gelar Pangeran Sebrang Lor anak dari Raden Patah dari kerajaan Islam Demak mengadakan kerjasama dengan kesultanan Ternate dan Tidore untuk mengirim dai dan mubaligh ke Papua dalam rangka menyiarkan Islam. Para dai dan mubaligh itu dikirim ke wilayah pesisir Barat dan Utara Papua. 5.Versi Banda, Islam dibawa oleh dua orang mubaligh bernama Salahuddin dan Jainun dari Banda yang sezaman dengan Sultan Tidore sekitar abad XVI, terjadi di Pulau Misool yang belum terjangkau oleh Sultan Ternate dan Tidore. 6. Versi Bacan, Kesultanan Bacan di masa Sultan Mohahammad al-Baqir lewat piagam kasiratan yang dicanangkan oleh peletak dasar Mamlakatul Mulukiyah atau Moloku Kie Raha (Empat Kerajaan Maluku: Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo) lewat walinya Jafar As-Shodiq (1250 M) melalui keturunannya ke seluruh penjuru negeri menyebarkan syiar Islam ke Sulawesi, Philipina, Kalimantan, Nusa Tenggara, Jawa dan Papua. 7. Versi Tidore dan Ternate, sebuah catatan sejarah Kesultanan Tidore “Museum Memorial Kesultanan Tidore Sinyine Mallige” menulis pada tahun 1443 M Sultan Ibnu Mansur (Sultan Tidore X) bersama Sangaji Patani Sahmardan dan Kapitan Waigeo bernama Kapitan Gurabesi memimpin ekspedisi kedaratan Tanah Besar (Papua). Ekspedisi yang terdiri dari satu armada kora-kora berangkat ke Tanah Besar melewati pulau-pulau seperti Patani, Gebe dan Waigeo (Raja Ampat-Sorong).
Dari berbagai versi kedatangan Islam di atas, dapat disimpulkan bahwa tempat asal kedatangan agama Islam dari Bacan, Maluku Utara yang dibawa oleh Sultan Bacan yang diperkirakan pertengahan abad XV. Didukung faktor ekonomis dan geografis letak kesultanan Bacan dibandingkan dengan ketiga kesultanan lainnya di Malauku (Ternate, Tidore dan Jailolo) lebih dekat dengan Pulau Papua, tepatnya di kepulauan Raja Ampat. Sedangkan Islam mulai melembaga kedalam struktur kekuasaan di Papua sekitar abad XVI, setelah pemimpin-pemimpin Papua mengunjungi kerajaan Bacan pada tahun 1596 M. Dari kunjungan tersebut terbentuklah kerajaan-kerajaan Islam mini di kepulauan Raja Ampat, Sorong dan Semenanjung Onin, Fakfak. Selanjutnya pada abad XVII kesultanan Tidore secara resmi mengambil alih kekuasaan pulau Papua dari kesultanan Bacan.

B. Pola Penyebaran Islam
Antara kedatangan Islam, terbentuknya masyarakat Muslim, lebih-lebih munculnya kerajaan-kerajaan Muslim, mengambil proses waktu berabad-abad. Demikian pula proses tersebut melalui bermacam-macam saluran yang tentunya menguntungkan kedua belah pihak yaitu baik bagi orang-orang Muslim sendiri. Secara garis besar proses penyebaran Islam di Papua melalui berbagai saluran seperti: perdagangan, sosisal kultural, politik, perkawinan, dan pendidikan.

C. Timbulnya Kerajaan-Kerajaan (Petuanan) Islam
Kerajaan-kerajaan kecil yang berdiri sejak beberapa abad yang lalu di kepulauan Raja Ampat, Semenanjung Onin serta daerah Kowiai (Kaimana) sesungguhnya merupakan hasil proses alkulturasi dari kebudayaan Papua dengan kebudayaan Maluku yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya. Kerajaan-kerajaan (petuanan) Islam mini di Tanah Papua adalah sebagai berikut:

1. Kerajaan-Kerajaan Islam di Kepulauan Raja Ampat
Pada kerajaan-kerajaan Islam di Maluku dan daerah sekitarnya mengaku eksistensi keberadaan Kolano (Papua: Korano) sebagai pemimpin/raja mereka yang dihormati dan dipercaya. Pada gugusan Kepala Burung itulah nama Kolano Fat yang berarti Raja Ampat terpatri hingga kini sebagai jati diri dari pulau Papua. Secara makro pulau ini dipimpin oleh Empat Sultan dari Maluku yaitu : Sultan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Namun secara mikro yang dimaksudkan adalah raja-raja di kepulauan Papau yaitu Raja Salawati, Raja Misool, Raja Batanta dan Raja Waigeo.
Terbentuknya Raja Ampat (Kolano Fat) di Sorong oleh Kesultanan Bacan di Papua sebagai berikut : (1) Kaicil Patra war bergelar Komalo Gurabesi (Kapita Gurabesi) di pulau Waigeo; (2) Kaicil Patra war bergelar Kapas Lolo di pulau Salawati; (3) Kaicil Patra Mustari bergelar Komalo Nagi di Misool; (4) Kaicil Boki Lima Tera bergelar Komalo Boki Saila di pulau Seram.

2. Kerajaan (Petuanan) Islam di Wilayah Fakfak dan Kaimana
Petuanan atau kerajaan-kerajaan di wilayah Fakfak dan Kaimana terbagi dalam sembilan petuanan, yakni: (1) Petuanan Namatota; (2) Petuanan Komisi; (3) Petuanan Fatagar; (4) Petuanan Ati-Ati; (5) Petuanan Rumbati; (6) Petuanan Pattipi; (7) Petuanan Sekar; (8) Petuanan Wertuar; dan (9) Petuanan Arguni.
Di wilayah Semenanjung Onin terdiri dari: (1) Kerajaan Rumbati; (2) Kerajaan Fatagar; (3) Kerajaan Ati-Ati . Di samping beberapa kerajaan lain yang pada mulanya di bawah kekuasaan Kerajaan Rumbati, tetapi kemudian berhasil memperoleh pengakuan sebagai kerajaan sendiri terutama pada masa awal pax Neerlandica (1989) seperti Kerajaan Patipi terdapat di ujung barat Semenanjung Onin dan Kerajaan Arguni terdapat di pulau Arguni; Kerajaan Sekar dan Kerajaan Wertuar terdapat di Kokas Teluk Berau. Di wilayah Kowiai (Kaimana) terdiri dari: Kerajaan Namatota (Kowiai) dengan pusatnya di pulau Namatota dan Kerajaan Aiduma dengan pusatnya di pulau Aiduma. Di Semenanjung Onin dan Kowiai pemimpin atau raja disebut rat.

D. Bukti-Bukti Peninggalan Islam
1. Daerah Fakfak dan Kaimana
Di Tanah Papua terdapat tiga buah masjid tua, masing-masing: (1) Masjid Tunasgain (dibangun sekitar abad XVI) terdapat di kampung Tunasgain, distrik Fakfak Timur, kabupaten Fakfak; (2) Masjid Tubirseram di pulau Tubirseram, distrik Fakfak, kabupaten Fakfak; dan (3) Masjid Patimburak di kampung Patimburak, distrik Kokas, kabupaten Fakfak. Namun sekarang ini hanya tertinggal satu masjid tua yakni Masjid Agung Patimburak yang dibangun pada tahun 1870 M.
Di kota Fakfak, masih tersimpan 5 (lima) buah manuskrip, menurut masyarakat setempat telah berumur 800 tahun, berbentuk kitab dengan berbagai ukuran yang diamanahkan kepada Raja Patipi XVI (H. Ahmad Iba). Manuskrip tersebut berupa mushaf al-Qur’an yang berukuran 50 cm x 40 cm. Bertulis tangan di atas kulit kayu yang dirangkai menjadi seperti kitab zaman sekarang. Empat lainnya, salah satunya bersampul kulit rusa, merupakan kitab hadits, ilmu tauhid dan kumpulan doa. Ada tanda tangan dalam kitab itu berupa gambar tapak tangan dengan jari terbuka. tapak tangan yang sama juga dijumpai di Teluk Etna (Kaimana) dan Merauke. Sedangkan tiga manuskrip berikutnya dimasukkan ke dalam buluh bambu dan ditulis di atas daun koba-koba, pohon asli Papua yang kini mulai punah. Ada pula manuskrip yang ditulis di atas pelepah kayu, mirip manuskrip daun lontara (Fakfak: daun pokpok).Berdasarkan tradisi lisan masyarakat setempat, inilah 5 (lima) manuskrip pertama yang masuk ke Papua yang dibawa oleh Syekh Iskandarsyah dari kerajaan Samudera Pasai untuk melakukan perjalanan dakwah ke pulau Nuu War (Fakfak: Papua) tepatnya di daerah di Mesia atau Mes, kini distrik Kokas kebupaten Fakfak pada abad XIII.
Dari kampung Ugar Fakfak terdapat Dokumen Silsilah Raja-Raja Ugar, tertulis sebuah Surat Keputusan tertanggal 5 November 1929 M. Surat Keputusan itu menggunakan bahasa Belanda dan Melayu berstempel Kesultanan Tidore yang bertuliskan huruf Arab yang diberikan Sultan Tidore kepada Maidama atau Moi Damar Ugar sebagai Kepala Kampung Ugar dengan gelar jabatan Kapitan. Moi Damar Ugar merupakan generasi V dari turunan Raja-Raja Ugar. Raja Ugar I bernama Rabana telah memeluk Islam hidup pada abad XVI. Kuburan Raja Ugar I, juga kuburan para imam dan khotib serta pengikutnya sudah bercirikan Islam kuburan Islam. Juga terdapat terdapat kitab barzanji yang ditulis dalam bahasa Jawa kuno bertanggal 5 Ramadlan tahun 1622 Miladiyah., teks khutbah berhuruf Arab berbahasa Melayu bertarikh tanggal 28 Rajab tahun 1319 M., dan Kitab Maulid Geser yang dibeli oleh Raja Rumbati Muhammad Sidik Bauw abad XV.

2. Daerah Raja Ampat
Di desa Saonek, Lopintol dan desa Beo di kecamatan Waigeo, kepulauan Raja Ampat, kebupaten Sorong. Kepulauan Raja Ampat-Sorong. Dari hasil penelitian ditemukan dua jenis data, yaitu pertama, data sejarah berupa dead monument makam-makam Islam lama, ada 2 makam yang terbuat dari tembok setinggi 50 cm berbentuk persegi makam yang besar berukuran panjang 610 cm., lebar 340 cm, makam-makam yang lain berupa tumpukan batu yang disusun persegi panjang, tetapi tidak ditemukan data sejarah yang jelas, karena nisan yang terbuat dari kayu yang telah rusak. Dari informasi penduduk setempat semua guru-guru agama berasal dari Tidore dan Ternate. Mereka yang dimakamkan di desa Saonek adalah Arif Saefudin, Hambali, Abdurrahim Rafana yang meninggal tahun 1942 dan makam keluarga Lagat yang diperkirakan meninggal abad XIX atau XX.
Kedua, data sejarah berupa Living Monument yakni masjid dan peninggalan lainnya. Masjid-masjid yang ditemukan jika dilihat dari bangunannya relatif baru, tapi masih ada yang insitu, ada juga yang berpindah tempat, pada umumnya telah mengalami pemugaran berulang kali. Sebelum dipugar masjid ini menunjukkan arsitektur tradisional (denah bujur sangkar dan atap berbentuk limas, bahan bangunan dari kayu). Di masjid terdapat mimbar kayu dan tongkat (cis) yang dipergunakann khotib selama berkhotbah. Di ketiga masjid yang diteliti terdapat teks-teks purba yang telah lama menjadi teks baku. Hal ini dapat diperhatikan dari penulisan teks khotbah tersebut yang umumnya berasal dari akhir abad XIX atau awal abad XX., teks-teks tersebut berasal dari Kota Baru, Kabla Kauja (Perak, Malaysia) cetakan tahun 1326 H/1908 M dan Mekkah.

3. Kepulauan Mansinam Manokwari
Di Manokwari terdapat salinan naskah manuskrip, tulisan tangan, tertanggal 3 Mei 1952, yang aslinya berbahasa Tidore, salinan ke-4 berbahasa Indonesia, dimana salinan ini adalah milik keluarga Rumander. Dalam naskah ini menceritakan bahwa utusan Sultan Tidore pada tanggal 18 Agustus 1812 M./17 Rajab 1217 H. yang bernama Dano Sech Muhammad Alting bersama adiknya bernama Dano Muhammad Hasan dan seorang penerjemah Tolowo Warwe bergelar Kasim Raja dari Sorong Dom beserta beberapa anak buah perahu Ternate mengunjungi pulau Mansinam-Manokwari. Kedatangan Sultan tidak disambut dengan ramah oleh penduduk setempat, tetapi setelah melalui dialog dengan kepala suku yang bernama Mayor Kerui Rumander, akhirnya ia memeluk Islam dan diikuti oleh beberapa anggota keluarganya. Dano Sech Muhammad Alting pulang ke Tidore, setelah anak lali-lakinya meninggal dan dikuburkan di pulau Mansinam, sedangkan istrinya meninggal dunia juga di Manokwari dan dimakamkan di Roudi bersama Hj. Boki Fatimah (istri Mayor Kuni Rumander). Kuni Rumander demi keselamatan dirinya, nama famnya (marga) diganti menjadi Rumbobiar.

E. Pengaruh Agama Islam Dalam Kehidupan
Potret suasana keagamaan di daerah Papua sangat unik, karena di satu sisi agama Islam telah merupakan ”agama resmi” bagi kerajaan-kerajaan di kepulauan Raja Ampat, Semenanjung Onin dan di daerah Kowiai (Kaimana). Hal ini ditandai dengan raja dan keluarganya telah memeluk agama Islam, serta adanya institusi resmi yang berkaitan pengaturan kehidupan masyarakat. Pengaruh raja umumnya sangat besar dalam membantu tersebarnya Islam di daerah ini. Akan tetapi di sisi lain tampak pengamalan ajaran Islam sebagian penduduk Papua masih kurang mendalam sehingga terjadi keadaan yang kontradiktif.
Diterimanya Islam sebagai agama dan jalan hidup masyarakat Papua, maka pranata-pranata kehidupan sosial budaya memperoleh warna baru. Keadaan ini terjadi karena penerimaan mereka kepada Islam sebagai agama, tidak terlalu banyak mengubah nilai-nilai, kaidah-kaidah kemasyarakatan dan kebudayaan yang telah ada sebelumnya. Apa yang dibawa oleh Islam pada mulanya datangnya, hanyalah urusan-uruasan ‘ubudiyah (ibadat) dan tidak mengubah lembaga-lembaga dalam kehidupan masyarakat yang ada. Islam mengisi sesuatu dari aspek kultural mereka, karena sasaran utama dari pada penyebaran awal Islam hanya tertuju kepada soal iman dan kebenaran tauhid.

SEJARAH ISLAM DI PAPUA


KONTEKS SOSIAL HISTORIS DI TANAH PAPUA
Dalam membahas rekonstruksi sejarah sosial dan perkembangan umat Islam di pulau Papua, nampaknya penting untuk memahami latar belakang karakteristik wilayah dan penduduk di pulau Papua. Untuk itu, Bab II akan membahas beberapa hal, yakni kondisi umum wilayah, asal nama Papua, kepercayaan, keanekaragaman budaya, struktur masyarakat Papua, sistem kepemimpinan tradisional, maupun hubungan awal masyarakat Papua dengan bangsa-bangsa lainnya. Hal ini bertujuan untuk menggambarkan secara singkat karakteristik wilayah dengan setting sosial budaya yang khusus dan berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia.

A.   Kondisi Geografis, Demografis dan Administrasi Pemerintahan di pulau   Papua
Dengan luas sekitar 421.981 km2, pulau Papua berada di ujung timur dari wilayah Indonesia. Kondisi geografis yang bervariasi ini mempengaruhi kondisi penyebaran penduduk yang tidak merata. Pada tahun 1990 penduduk di pulau Papua berjumlah 1.648.708 jiwa dan meningkat menjadi sekitar 2,8 juta jiwa pada tahun 2006.
Dalam konteks administrasi pemerintahan, sejak tahun 1969 hingga 1999, di pulau Papua terdapat satu (1) provinsi, yakni provinsi Irian Jaya, dimana pada tahun 2001 berubah menjadi provinsi Papua. Dengan demikian, sejak tahun 2003 di pulau Papua terdapat dua (2) provinsi, yakni Provinsi Irian Jaya Barat dan Provinsi Papua.
Tabel. 1. Pembagian Administrasi Pemerintahan di Provinsi Papua

No.
Provinsi/Kabupaten
Luas wilayah
Jumlah penduduk
1.
Kota Jayapura
940
200.360
2.
Kabupaten Jayapura
15 309
91.990
3.
Kabupaten Sarmi
25 902
44.180
4.
Kabupaten Keerom
9 365
37.927
5.
Kabupaten Pegunungan Bintang
16 908
137.260
6. 
Kabupaten Merauke
43 979
155.783
7.
Kabupaten Asmat
18 976
62.002
8.
Kabupaten Boven Digoel
28 471
31.443
9.
Kabupaten Mappi
27 632
66.228
10.
Kabupaten Jayawijaya
12 680
210.654
11.
Kabupaten Tolikara
8 816
88.529
12.
Kabupaten Puncak Jaya
10 852
111.711
13.
Kabupaten Yahukimo
15 771
62.002
14.
Kabupaten Panilla
14 215
112.881
15.
Kabupaten Nabire
16 312
161.519
16.
Kabupaten Biak Numfor
2 360
99.798
17.
Kabupaten Yapen Waropen
3 131
70.744
18.
Kabupaten Waropen
24 628
21.647
19.
Kabupaten Supiori
775
12.709
20.
Kabupaten Mamberamo Raya
-
-
21
Kabupaten Mimika
20 040
126.430
Sumber: BPS Provinsi Papua, Papua Dalam Angka Tahun 2006

Dalam perkembangannya, tuntutan dari sebagian penduduk Papua untuk memekarkan provinsi Papua menjadi beberapa provinsi Papua semakin marak. Provinsi-provinsi baru tersebut antara lain provinsi Papua Selatan, provinsi Teluk Cenderawasih, provinsi Pegunungan Tengah, maupun provinsi Papua Tengah.
Sedangkan Provinsi Papua Barat terdiri dari 8 (delapan) Kabupaten dan 1 (satu) Kota. Di wilayah Papua Barat, populasi umat Islam, baik yang pendatang maupun pribumi banyak tersebar di kawaan perkotaan dan perdesaan.

Tabel. 2. Pembagian Administrasi Pemerintahan, Luas Wilayah, dan Jumlah Penduduk di Provinsi Papua Barat Tahun 2006

No.
Kabupaten
Luas (km2)
Jumlah penduduk
1.
Kabupaten Manokwari
14.448
166.322
2.
Kabupaten Teluk Wondama
4.996
22.293
3.
Kabupaten Teluk Bintuni
18.658
51.783
4.
Kabupaten Kaimana
18.500
40.550
5.
Kabupaten Fakfak
14.320
64.380
6.
Kabupaten Sorong
18.170

95.061
7.
Kabupaten Sorong Selatan
29.811
59.240
8.
Kabupaten Raja Ampat
6.084
39.870
9.
Kota Sorong
1.105
162.703
Sumber: BPS Provinsi Papua Barat, Papua Barat Dalam Angka 2007.

B.   Asal Nama Papua
Nama Papua juga memiliki makna dalam bahasa Tidore dan Ternate. Dalam cerita lisan yang berkembang di pulau Papua bahwa nama “Papua“ itu berasal dari bahasa Tidore, yang diartikan sebagai “rambut keriting” sebagaima juga bahasa Melayu pua pua berarti keriting. Wilayah tanah besar beserta pulau-pulaunya oleh Kesultanan Tidore disebut dengan nama Papo Ua yang berarti tidak bergabung atau tidak bersatu, tidak bergandengan (not integrated). Maksudnya bahwa wilayah luas dan tanah besar ini tidak termasuk ke dalam Kesultanan Tidore atau induk kesultanan Tidore.

C.   Struktur Masyarakat Papua
Untuk memahami kultur penduduk Papua, khususnya untuk penduduk pribumi Papua, analisis sosial perlu ditujukan pada kondisi persebaran penduduk ke dalam dua hingga empat kelompok-kelompok, atau kelompok geografi atau kawasan yang mencerminkan lokasi tempat tinggal, aktifitas ekonomi, kehidupan sosial dan budaya.
Jika dilihat dari karakteristik budaya, mata pencaharian dan pola kehidupannya, penduduk asli Papua itu dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu: (1) Papua pegunungan/pedalaman, dataran tinggi, dan (2) Papua dataran rendah dan pesisir. Pembagian ini dapat dibagi-bagi lagi berdasarkan jenis dan parameter tertentu, seperti tipe pemukiman, jenis mata pencaharian, kesamaan pola budaya dan adat istiadat.


D.   Sistem Kepemimpinan Tradisional
Demikian pula dalam konteks kepemimpinan di pulau Papua, terdapat karakteristik dari sistem kepemimpinan tradisional. Mansoben membagi ke dalam 4 (empat) tipologi. Pertama, sistem kepemimpinan pria berwibawa Tipologi ini terdapat di orang Muyu, orang Ngalum, orang Dani, orang Asmat, orang Mek, dan orang Meibrat. Kedua, sistem kepemimpin raja Masyarakat tipe ini terdapat di Kepulauan Raja Ampat, daerah semenanjung Onin (Fakfak) dan di daerah Kaimana. Ketiga, sistem kepemimpinan yang menganut sistem kepemimpinan kepala klen. Tipologi ini terdapat di Teluk Jayapura, dimana ditempati oleh orang-orang Tobati, Enggros, Kayubatu, Nafri, Sentani, dan Genyem. Keempat, sistem kepemimpinan yang bersifat campuran antara tipe kepemimpinan pria berwibawa, tipe raja, dan tipe kepala klen. Tipologi seperti ini terdapat di masyarakat yang mendiami pantai Teluk Cendrawasih seperti di Biak dan Serui maupun di pantai utara Kepala Burung. 

E.   Pluralitas Budaya
Menurut mapping yang dilakukan Bappenas tahun 2005, penduduk asli Papua terdiri dari beragam etnis yang sudah teridentifikasi  sebanyak 57 kelompok etnik serta hidup secara berkelompok dalam unit-unit kecil yang memiliki 252 adat, budaya dan bahasa tersendiri yang sangat dihormati oleh masyarakat. Bila kita perhatikan ikhtisar di atas dan bahan-bahan visual yang ada pada kita, maka tampaklah bahwa ciri-ciri ras yang ada pada penduduk Irian Barat ialah ciri-ciri ras Australoid, Weddoid, Negroid/Negritoid, Melanesoid dan sejumlah kecil ras Mongolid.
F.    Kepercayaan
Pola kepercayaan agama tradisional masyarakat Papua menyatu dan menyerap segala aspek kehidupan. Pandangan dunia bagi masyarakat tradisionil Papua sebelum tersentuh agama samawi, terbagi dalam dua bagian, yakni :
1.    Bagian-bagian empiris, yang menyangkut lingkungan alam, sumber-sumber ekonomi, dunia binatang dan dunia manusia. Singkatnya segala sesuatu yang dapat disentuh dan dapat dilihat.
2.    Bagian-bagian non empiris, yang mencakup adanya roh-roh, kekuatan ilmu-ilmu gaib tak berkepribadian, dan kadang-kadang totem-totem.
G.  Hubungan Masyarakat Papua dengan Bangsa-Bangsa Lain
 Kontak awal masyarakat Papua dengan pihak luar atau bangsa-bangsa asing, baik di Nusantara maupun bangsa-bangsa asing lainnya. Interaksi-interaksi memiliki berbagai macam motif, baik ekonomi perdagangan, kekuasaan wilayah, penyebaran agama, maupun hubungan budaya secara tradisional. Kontak awal dengan bangsa India pada abad VII, hubungan dengan bangsa Cina dengan perantaraan Kerajaan Sriwijaya pada abad VII, hubungan dengan Kerajaan  Majapahitpada abad XIV, hubungan dengan Kerajaan Bacan, Ternate dan Tidore pada abad XV-XIX, hubungan dengan Spanyol dan Portugis pada abad XVI, hubungan dengan Belanda pada abad XVII-XX, dan hubungan dengan Jepang (1938-1944).